Startup, dan Leverage dalam usaha
Kita tau belakangan ini banyak startup berguguran. Bahkan di sebuah…
Beberapa waktu lalu, saya berinvestasi di saham dengan nilai yang cukup besar. Banyak influencer saham mengatakan bahwa saham ini sudah “bottom” (alias sudah sulit untuk turun). Namun kenyataannya, semakin lama justru semakin turun. Bahkan dengan logika dividen yang sudah sangat besar sekalipun, harga saham ini tetap terus melemah.
Terlepas dari apakah saham ini nantinya akan naik kembali, ada satu hal yang sangat mengganggu perasaan saya, bahkan membuat saya marah kepada diri sendiri: saya berani berspekulasi dengan nilai sebesar itu. Andai saat itu saya benar-benar mendapatkan return besar dalam waktu singkat, itu pun sebenarnya hanya semata-mata keberuntungan. Meskipun saya sempat melakukan perhitungan, saya sadar saya tidak memiliki conviction yang kuat. Selain itu, saya melakukan banyak ketidakkonsistenan dalam praktiknya. misalnya, mengalami FOMO ketika harga mulai naik akibat inflow asing, yang ternyata hanya jebakan.
Kejadian ini mengingatkan saya pada tulisan lama saya Tentang Karma. Proses kita untuk mendapatkan hasil adalah sebuah karma: entah kita menikmati hasil dari karma masa lalu, atau kita menuai hasil dari karma yang kita bentuk secara sadar melalui pemahaman dan kerja keras. Karma itu seperti tabungan, ia bisa habis jika kita terlalu sering menariknya tanpa pernah menabung kembali.
Beberapa tahun lalu, seorang saudara pernah berkata, “andaikata saya beruntung mendapatkan uang ratusan juta, saya akan melakukan hal tertentu.” Mengapa dia menyebutkan “beruntung”? Karena sebenarnya dia sendiri tidak tahu kenapa ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Di sisi lain, banyak pengusaha yang menghasilkan ratusan juta bahkan miliaran rupiah per bulan, dan mereka tidak merasa bahwa itu semata-mata hasil keberuntungan. Kalau saudara saya benar-benar mendapatkan uang ratusan juta secara tiba-tiba, apakah hal itu akan terulang lagi? Inilah yang saya maksud dengan karma sebagai tabungan: pengusaha yang konsisten bekerja keras, sembrani menciptakan sistem, sebenarnya sedang terus menabung karma, sehingga apa yang tampak seperti “keberuntungan” bagi orang lain, bagi mereka justru menjadi hal yang normal.
Karena itu, jika seorang investor ingin “beruntung” dalam berinvestasi, yang harus dilakukan adalah belajar menjadi investor yang benar. Pelajari dan bangunlah framework berpikir yang tepat untuk menilai perusahaan. Jangan menjadikan investasi sebagai alat untuk berjudi atau mengadu nasib. Jika dilakukan dengan benar, apa yang dulu terasa seperti keberuntungan, lambat laun akan menjadi hal yang biasa.
Beberapa point yang bisa dipetik dari cerita saya diatas :
Discussion about this post